Rabu, 27 Agustus 2008

NAFAS TERAKHIRKU

Dalam kesunyian malam, tengadahku kepada Yang Maha Kuasa “Tuhan, jika aku kecil dihadapan-Mu, entah kenapa aku merasa paling kecil dihadapan semua mahluk ciptaan-Mu? Salahkah aku jika berprasangka seperti ini? Tuhan, begitu sakit yang rasakan hingga detik ini. Mungkin inilah keagungan Engkau, kasih sayang Engkau kepadaku tapi aku mohon beri aku sedikit waktu untuk membuat mereka tersenyum lagi”, rintihku. Derai tangispun membasahi pipi lebamku hingga merenggut sesak direlung hati dan bergumam dalam diri, “Tuhan pintaku satu pada-Mu izinkan aku agar selalu berada dijalan-Mu, terangi langkah rapuh ini, teguhkan hati kecil ini agar selalu ingat pada-Mu..dan izinkan aku untuk membuat tersenyum akan orang-orang tersayang..dan kuatkan selalu tubuh mungil ini”. Tak terasa mentari pagi tlah menaruh senyuman hangat dalam kamarku, “Sayang…bangun dong, udah siang niy,,”, sahut bunda membangunkanku sembari membuka jendela kamarku. “Ya ampun, emang udah jam berapa?”, tanyaku. Jawab bunda sembari mengelus-elus kepalaku,”Jam 5, emang kamu nggak sholat? Semalem sholat sampe jam berapa?”. “Nggak tau..”, jawabku sambil memakai mukenah. Dan akupun melaksanakan sholat subuh.
***
Ketika sang mentari kembali keperaduannya, tiba-tiba Vanny memanggilku dan aku pun berbincang-bincang dengannya di beranda rumah. “Gimana kondisi loe sekarang? Udah baikkan belom?”, tanya Vanny padaku. “Nggak koq, gw nggak apa-apa..kenapa siy? Gw’kan nggak sakit, kenapa loe nanya kaya gitu?”, jawabku lirih. “Oia, da apa loe kesini?”, tanyaku. Jawab vanny sembari menggendong kucing kesayangan ibuku, “Iya, gw kesini mau ngebaca puisi-puisi yang pernah loe bikin. Boleh’kan?”. Tak lama setelah 15 menit vanny pun pulang sambil membawa tumpukan puisi-puisi yang pernah kubuat. Lama tak melihat bayangan vanny pergi dari rumahku, aku pun berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan darah yang membuat nanar sakit dikepalaku. “Sayang..kenapa?? koq lari sambil megang mulut gitu?”, tanya bunda khawatir. 10 menit lamanya aku di dalam kamar mandi sembari menahan sakit yang berbinar-binar di kepala. Tok..tok..tok…”Bunda masuk yah??”, tanya bunda cemas. Bunda tak tahu apa yang terjadi di dalam, aku yang sudah tergolek tak berdaya di kamar mandi, akhirnya diangkat oleh ayah ke kamar dan dibaringkannya tubuh ringkihku. “Yah..bawa kerumah sakit aja yuk..”, pinta bunda kepada ayah cemas. “Iya..iya..sekarang ayah lagi telpon temen ayah dulu, habis itu kita jalan.”, jawab ayah cemas sambil menelpon temennya.
***
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku hanya menahan sambil memegang erat kepala yang kian terasa merenggut nyawaku. “Astaghfirullah…ya allah…sakit…sakit…,sakit yah, bunda”, teriakku sambil merintih. “Sabar yah sayang..sekarang kita lagi dijalan mau kerumah sakit”, sahut bunda. Ayah yang biasanya selalu memijat-mijat kepalaku jika aku merintih kesakitan, kini tak tahu apa yang harus ia lakukan melihat aku yang tergolek merintih dan menahan darah yang kian terus menerus keluar dari hidung dan mulut. “Sayang..kuat yah,bunda sama ayah selalu doa’in kamu..”, sahut bunda sabar. 15 menit lamanya aku menahan rasa sakit yang kian mengiris nyawaku perlahan, UGD pun menjadi saksi akan sakit yang aku rasakan. “Maaf bu, pak, sebaiknya anggota keluarga menunggu diluar agar pasien terjaga dengan baik”, pinta perawat kepada ayah dan bunda.
Mereka tak tahu apa yang aku rasakan didalam, beribu selang di pasang diseluruh tubuhku, beribu jarum disuntikkan pada bagian tubuh kecil ini, hingga darah terus menerus mengalir keluar. Tapi suntikan bius yang membuat tubuh ini melanglang buana belum sempat disuntikkan pada tubuhku, karena dokter merasakan bahasa bibirku untuk mengatakan sesuatu padanya. Tubuh ini pun terasa kian hampa, aku tak tahu apa yang sedang aku rasakan sekarang, mungkin Tuhan berkehendak lain kepadaku. “Dok aku mohon, tolong beri aku cahaya meskipun orang-orang disini udah berusaha semaksimal mungkin..aku nggak kuat, rasanya sakit banget..”, pintaku kepada salah satu dokter sembari merintih. “Iya..saya tahu, kamu udah nggak kuat tapi sejujurnya semangat kamu untuk terus bertahan membuat cahaya yang ada diri kamu tak pernah redup,,”, jawab dokter lirih.
Satu jam lamanya operasi telah berjalan, tapi tak satu orang pun yang keluar dari balik pintu Ruang Bedah memberitahukan bagaimana kondisiku saat itu. Semakin cemas dan khawatir yang dirasakan oleh ayah dan bunda, tiba-tiba “Maaf pak,bu, sejauh ini anak bapak dan ibu masih dalam kondisi kritis..dan mengalami koma”, tutur dokter. “Ayah…gimana?? Ya allah, apa yang Engkau berikan kepada anak kami..”, teriak bunda. “Sabar..sekarang kita terus berdoa aja buat dia”, pinta ayah.
Beberapa bulan di rumah sakit aku mengalami koma dengan tubuh terbujur kaku selayak orang mati, tapi disisi lain aku mampu melihat apa yang orang tuaku lakukan. Doa-doa yang selalu mereka panjatkan untukku selalu menghiasi hari-hari mereka. “Yah..bunda seneng banget klo dia lagi bikin puisi”, tutur bunda sembari senyum menangis. “Banyak banget lho yah puisi-puisinya..”, lanjut bunda. Kata ayah sambil tersenyum kangen melihat folder foto bersamanya yang tersimpan di handphone, “Ayah kangen banget sama senyum kecilnya.. ayah berharap ia kuat ngejalanin semua ini,”. “Yah, kenapa penyakit itu harus merenggut dalam tubuhnya ya??”, Tanya bunda. “Ayah nggak tahu bu, yang jelas penyempitan selaput otaknya udah kian memburuk dan bulan lalu pun dokter udah memvonis tak akan lama ia bertahan”, jawab ayah sambil menghela napas panjang.
Masa koma yang aku alami pun belum berakhir, kecemasan ayah dan bunda kian melonjak saat perawat berbicara, “Maaf bu, pak, sebaiknya keluarga harus masuk kedalam..”, pinta salah satu perawat dengan wajah cemas. “Aduh..ada apa sus?? Kenapa dengan anak saya?”, Tanya bunda khawatir. Ayah dan bunda pun memasuki Ruang ICU dengan ditemani salah satu perawat. Saat memasuki ruangan kecemasan tampak pada raut wajah mereka hingga berubah ketakutan ketika mereka melihat aku dengan mulut serta hidung penuh darah. “Ya allah..yah, kenapa keluar darah gitu…”, tutur bunda menangis. “Bu..apa yang bisa buat dia semangat?”, Tanya ayah cemas. “Iya..iya, bunda tahu. Dia selalu ngerasa nggak sakit klo lagi bikin puisi”, jawab bunda sembari mencari Vanny di namelist handphonenya.
“Assalammu alaikum, vanny yah? Ini tante sayang, bisa tolong ke rumah sakit sekarang nggak sekaliann bawa tumpukan puisi-puisi yah..”, pinta bunda. “Iya tante, vanny segera kesana sekarang”, jawab vanny.
Seperjalanan vanny menuju rumah sakit, nyawa sahabat yang selalu dikagumi tak bisa tertolong lagi. Aku yang kini hanya dalam kenangan, telah terbaring dilumuri darah mengakhiri hidup ini dengan senyuman yang masih menyelimuti wajah mungilku. Baitan puisi-puisiku pun telah menjadi saksi akan arus yang kian merenggut nyawaku. Berbagai karangan bunga pun menghiasi tempat persinggahan terakhir dan kediamanku, itu semua menandakan bahwa aku tak pernah sendiri dan takkan mungkin untuk bisa sendiri.

Tidak ada komentar: